Senin, 06 November 2017

Coba Nge-Blog Lagi

“Bertutur kata adalah hal yang mudah, tetapi untuk tulis dalam merangkai kalimat jadi paragraf adalah hal yang sulit dan butuh komitmen,” setidaknya begitulah yang saya kutip dari Pramoedya Ananta Toer.

* * * *

Ada satu anekdot yang pernah saya baca dari sebuah blog yang menjadi alasan kenapa menulis itu sulit. “Jarak otak dengan mulut lebih dekat ketimbang dengan tangan. Itulah kenapa lebih mudah berbicara ketimbang menulis”. Jika dilihat dari kacamata ngawurologi, ucapan tersebut memang ada benarnya. Kalian pasti juga pernah merasakannya, gagasan – gagasan yang lalu lalang di otak kalian jauh lebih mudah menggunakan mulut ketimbang dengan tangan.

Lalu kenapa menulis terasa sulit bagi sebagian orang (termasuk saya)?
Kekosongan ide adalah salah satu penghalang terbesar banyak orang untuk menulis. Kekosongan ide disebabkan kurangnya informasi yang kita baca, baik itu dari buku, koran, majalah, atau artikel – artikel. Saya sendiri termasuk orang yang kurang suka (bukan tidak suka) membaca. Saya merasa seperti alergi jika harus menghadapi kertas berisi ribuan kata yang harus saya baca satu demi satu, saya juga merasa kesulitan untuk fokus berdiam diri sambil menghabiskan satu bahan bacaan hingga tuntas. Blog ini buktinya, yang dulu saya buat dengan harapan untuk bisa memacu semangat saya untuk lebih banyak membaca dan menulis, sekarang malah terlantar. Sudah hampir 2 tahun saya membuat blog ini, tetapi artikel yang saya tulis di sini pun begitu minim.

Masalah lain yang sering dihadapi ketika menulis adalah terlalu banyak pikiran. Ya, terkadang kita memiliki gagasan yang berlimpah ruah dalam otak kita, tetapi ketika akan menuangkannya dalam bentuk tulisan, tangan kita tiba – tiba kaku, mood amburadul, dan akhirnya ide – ide kita hanya menjadi ide. Hal itu karena kita terlalu banyak pikiran negatif dan ketakutan yang muncul saat akan menulis, kita takut tulisan kita kurang berbobot, kita belum menemukan gaya penulisan yang cocok, kita khawatir dengan penilaian jelek orang lain terhadap hasil tulisan kita, kita takut akan hasil tulisan kita yang tidak terstruktur dan ruwet. Hal seperti itu biasanya sangat menghambat progress kita dalam menghasilkan tulisan.
  
Tapi kemudian setelah saya mengikuti beberapa seminar kepenulisan, saya coba merenung. Semua orang sebenarnya bisa menulis. Untuk menulis kita tidak butuh bakat (walaupun memang ada orang yang diberi karunia dengan bakat mengolah tulisan), yang kita perlukan adalah kemauan untuk terus berlatih. Jika saat ini tulisan yang kita hasilkan masih kurang terstruktur ataupun kurang berbobot, itu tandanya kita masih perlu banyak latihan. Untuk mengawalinya, kita tidak perlu menulis tentang topik yang berat atau tulisan yang panjang. Menulislah sebisanya dan lakukanlah dengan konsisten, lama kelamaan tulisan kita pun akan semakin bagus isi dan kualitasnya.

Terkahir, saya coba memandang peribahasa “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati gading” dari sisi berbeda. Menurut saya, peribahasa tersebut bermakna setiap makhluk hidup pasti akan meninggalkan sesuatu ketika dia sudah mati. Kita pun sebagai manusia harus memiliki sesuatu untuk ditinggalkan ketika kita mati nanti. Jika harimau mati meninggalkan belang (dalam hal ini saya maknai belang sebagai bulu harimau yang berharga begitu mahal), gajah mati meninggalkan gading, maka manusia jika ia mati ia harus meninggalkan karya. Sekarang saya ingin mencoba membuang jauh - jauh segala pikiran negatif tentang menulis, ya walaupun nanti tulisan saya hanya sedikit dibaca orang, kurang berbobot, dan segala macamnya.


Jadi, ayo ngeblog lagi, nulis lagi, berkarya lagi!

Minggu, 23 April 2017

Pupus. Bertahan atau Lepaskan?

*   *   *
Baru kusadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk
Seluruh hatiku
(Pupus - Dewa 19)
*   *   *

Ya, kutipan lagu Pupus dari Dewa 19 itu benar - benar mewakili apa yang aku rasakan sekarang. Tidak ada satu orang pun yang mau cintanya bertepuk sebelah tangan. Sakit, perih, hancur, sesak di dada mungkin seperti itulah rasanya ketika segala sesuatu yang kau berikan, segenap usaha yang kau lakukan hingga rela berkeringat dan berdarah, semua rasa dan pikiran yang kau curahkan hanya untuk orang yang begitu kau idamkan dalam hatimu ternyata tak berbalas, disia - siakan olehnya. Wanita yang kau idamkan itu malah tega membagi rasa dan lebih memilih untuk bersama dengan orang lain yang belum tentu orang itu memiliki cinta lebih besar dari yang kau berikan kepada wanita pujaan hatimu.


*   *   *
Kamu berbohong aku pun percaya 
 Kamu lukai ku tak peduli
Coba kau fikir di mana ada
Cinta seperti ini
(Aku Cuma Punya Hati - Mytha Lestari)
*   *   *
Sejenak ada banyak tanya yang terlintas di kepala. "Apakah aku bodoh? Apakah aku sudah dibutakan cinta? Hatiku sudah hancur olehnya, tapi kenapa aku masih mengharapkannya? Di mana letak harga dirimu sebagai lelaki? Apakah belum cukup rasa patah hatimu? Entahlah tapi rasa sayangku padanya sudah terlampau besar." Ya. Memang hatiku hancur. Entah sudah berapa malam aku menangis, pikiranku kacau, lidahku terasa hambar karenanya. Tapi dalam hati ini ada sebuah keinginan yang begitu kuat. Keinginan untuk membimbingnya menjadi lebih baik, untuk menjadikannya lebih taat, keinginan menuntunnya untuk bisa dari segala masalah yang ada pada dirinya. Akupun mencoba berfikir dengan jernih, mencoba memandang dari berbagai sisi. Mungkin jika dilihat dari sisi religi, cara yang aku gunakan ini memang salah. Karena satu - satunya jalan untuk membuktikan cinta adalah dengan mempersuntingnya. Jika memang tidak ditakdirkan untuk bersatu dengannya, maka cepat - cepat melupakan dan segera membuka hati untuk orang lain bukanlah jalan yang terbaik. Karena semakin kau mencoba melupakan, maka semakin menancap kuat bayangan dirinya dalam pikiranmu. Makin kau coba melupakan maka makin sulit kau melepaskan dirinya. Dan jika memang ditakdirkan untuk bersama ia selamanya, maka jalan terbaik yang harus dipilih adalah tulus. Ya, tetap tulus mencintainya. Dengan tulus maka hati akan terasa tenang. Buanglah jauh-jauh pikiran bahwa dia harus membalas cintaku sekarang. Biarkan dia menjalani fase hidupnya terlebih dahulu. Yakinlah bahwa dia pasti suatu hari nanti akan kembali padamu. Yakinlah bahwa cintanya untuk lelaki lain bukanlah cinta yang tulus. Yakinlah bahwa suatu saat hatinya pun akan luluh karena cinta tulusmu. Dan tetaplah berdo'a agar suatu saat bisa dipersatukan kembali dengan ikatan yang suci, dengan cinta yang terus tumbuh dan begitu kuat setiap harinya. Dan saat itu terjadi, maka laksanakanlah keinginanmu untuk membimbingnya, menuntunnya menjadi pribadi lebih baik.


*   *   *
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang karna telah terbiasa
(Risalah Hati - Dewa 19)
*   *   *
Terahir, cinta memang butuh waktu dan proses. Terkadang waktu dan proses itu lama, terkadang cepat. Jika cintamu memang belum terbalas saat ini, tetaplah tegakkan kepalamu dan lebarkan senyumanmu. Cinta yang tidak terbalas adalah salah satu proses. Peganglah keyakinan bahwa kau butuh waktu sedikit lebih lama untuk mewujudkan cintamu yang sejati. Janganlah patah karena cinta, karena cinta itu membawa pengharapan bukan memutuskan pengharapan.

Kamis, 09 Februari 2017

Seputar Kuliiah : IPK Harus Tinggi atau IPK Bukan Segalanya?

Haiiii! Postingan kali ini saya tujukan buat adek – adek yang belum kuliah dan yang baru akan memulai kuliah. Mungkin di antara kalian ada yang sudah tau ataupun malah gak tau sama sekali tentang IPK. Apa sih IPK itu?

IPK adalah singkatan dari Indeks Prestasi Kumulatif, yaitu nilai akhir yang menjadi t olak ukur intelektual bagi seorang mahasiswa selama masa pendidikan di perguruan tinggi. IPK biasanya diukur dengan skala angka 1 sampai 4. Mirip – mirip sama raport kalau di SMA. Adik – adik yang di sekolahnya pernah menggunakan kurikulum tahun 2013 pasti tau istilah ini.

Nah di dunia perkuliahan sendiri, mahasiswa dihadapkan dengan banyak pola pikir yang membuat mereka selalu mendewakan IPK tersebut. Banyak anggapan yang mengatakan kalau kalian mendapat IPK rendah pasti akan sulit cari kerja, sulit dapat jodoh, dsb. Anggapan itu sedikit banyak membuat masa pendidikan di perguruan tinggi jadi kehilangan esensi untuk menciptakan generasi bangsa yang berpikiran maju dan ber - attitude baik. Mereka rela melakukan berbagai cara untuk meraih IPK tinggi.
Kenyataan di lapangan juga makin memperkuat anggapan ‘IPK harus tinggi’ ini. Banyak perusahaan yang menempatkan IPK sebagai syarat penentu apakah surat lamaran pekerjaan kalian akan sampai ke tangan HRD atau akan mengendap di tempat sampah . Rata – rata syarat IPK minimal yang tercantum di lowongan – lowongan pekerjaan adalah 2.75 atau 3.00. Memang angka itu kelihatan kecil dan sangat mudah diraih, tapi jika IPK kalian pas – pasan pasti kalian akan tersingkir dengan cepat dalam kompetisi pencarian kerja. Beasiswa juga salah satu yang menjadikan IPK sebagai syarat mutlak. Jangan harap dengan IPK pas – pasan beasiswa bisa diraih. Saya sudah membuktikan bahkan dengan IPK yang selangit pun jalan untuk meraih beasiswa tidak dijamin mulus.

Di sisi lain, banyak juga mahasiswa yang mempercayai jika IPK bukanlah segalanya. IPKrendah / biasa – biasa saja tidak apa – apa yang penting soft skill terasah sempurna dan relasi di mana – mana. Pendapat ini juga tidak sepenuhnya salah, kenapa?

Di dalam dunia kerja bukan hanya hard skill di bidang akademik yang diperlukan, tetapi juga soft skill. Soft skill di sini maksudnya adalah kemampuan interpersonal, yaitu kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain seperti menyampaikan pendapat, bekerja dalam tim, kepemimpinan, dll. Nah kemampuan itu hanya sedikit atau bahkan tidak diajarkan di dalam kelas semasa kuliah. Kemampuan itu bisa kita dapatkan asah dengan mengikuti organisasi.

Sama seperti di SMA, di bangku perkuliahan pun juga ada berbagai macam organisasi untuk mengembangkan minat dan bakat kalian. Dari bidang olahraga, jurnalistik, legislatif, keagamaan, bahkan militer akan kalian temui di kampus. Di dalam organisasi inilah soft skill kalian nantinya akan diasah sebagai persiapan untuk  terjun di masyarakat dan di dunia kerja. Dan asal kalian tau, teman – teman kalian di organisasi ini nantinya dapat bermanfaat sebagai link dalam mencari kerja. Siapa yang akan tau, mungkin setelah lulus kuliah nanti kalian tidak  langsung mendapatkan pekerjaan yang cocok. Mungkin karena IPK kalian tidak terlalu ‘wow’, atau prestasi kalian yang kurang di kampus. Nah teman – teman organisasi kalian inilah yang dapat menjadi penyelamat dari gelar sarjana pengangguran itu. Makanya kuliah jangan cuma masuk kelas, garap tugas, pulang. Coba untuk bergabung di organisasi agar waktu kalian tidak terbuang sia – sia.


Terakhir, IPK memang tidak menentukan segalanya. Mahasiswa yang selalu mendapat IPK tinggi belum tentu masa depannya bisa berjalan sesuai rencana, dan mahasiswa yang ber – IPK seadanya pun malah banyak yang cerah masa depannya karena mereka bekerja keras dan juga memiliki banyak relasi yang menolong mereka. Gelar sarjana yang kalian dapatkan setelah lulus kuliah juga tidak menjamin kalian mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang yang kalian pelajari. Tetapi jangan 100% menganggap kalau IPK bukanlah segalanya, setidaknya kejarlah IPK tinggi itu sebagai bentuk timbal balik kalian terhadap jasa orang tua kalian yang sudah menyekolahkan kalian hingga bangku perguruan tinggi.

Sabtu, 28 Januari 2017

Motor Kecil Jaman Sekarang, Kok Makin Aneh - Aneh Ya?

Di awal tahun 2017 ini, dunia otomotif di Indonesia dibuat geger dengan peluncuran produk baru dari 2 pabrikan sepeda motor yang cukup besar di Indonesia. Yap, Suzuki yang merilis produk all-new yaitu GSX150R. Sementara Yamaha juga merilis versi update dari R15.

Dari beberapa informasi yang saya pantau dari media otomotif, 2 pabrikan Jepang ini memang bisa dibilang gila dalam produk terbarunya ini. Mereka jor-joran menyematkan berbagai teknologi yang bisa dibilang nggak terlalu cocok dan perlu untuk sebuah motor bermesin 150 cc.

Mulai dari Yamaha yang ingin memberikan sensasi berkendara motor gede pada motor sport 150 cc andalannya yaitu R15. Dari desain yang sekilas plek hampir sama dengan kakaknya yang berkapasitas 600cc Yamaha R6, penggunaan rangka deltabox yang umum digunakan dalam balap Moto GP, pemberian teknologi VVA pada mesinnya yang mana teknologii VVA ini umumnya digunakan pada motor besar >500cc, suspensi depan upside-down, dan seabrek teknologi canggih lainnya.

Sementara Suzuki pada GSX150 versi R dan S-nya, walaupun tidak sementereng Yamaha dengan R15 -nya, mereka memberikan sistem keamanan super canggih berupa key-less system yang umumnya juga hanya digunakan pada motor besar. Dan juga 'penghilangan limiter' mesin motor yang membuat mesin mampu melengking hingga batas 13.000 rpm. Cek videonya di sini.



Coba kalo kita bandingkan sama motor motor keluaran 10 tahun lalu. Waktu itu motor - motor kecil yang beredar di Indonesia emang bener - bener 'motor kecil'. Desainnya gak terlalu flashy aneh - aneh. Dan teknologinya pun emang teknologi untuk motor - motor kecil. Suspensi yang konvensional, mesin yang gak banyak sistem rumit dan paling canggih pun cuma dapet teknologi injeksi. Esensinya emang bener-bener motor yang digunakan untuk harian, buat kerja, nguli, nganter anak sekolah, dll.

Pertanyaannya, dengan rilisnya Yamaha R15 ini, pabrikan - panbrikan motor lain pun akan berlomba - lomba merevisi dan menjejalkan berbagai macam fitur canggih pada produk motor kecil mereka agar konsumen tidak berpaling. Kalo semua teknologi yang ada di motor besar udah diturunin ke motor kecil, terus apa yang jadi pembeda antara motor besar dan motor kecil? Nilai prestige di motor besar jadi turun dong? Mungkin aja hehehe. Terus kedepannya teknologi apa lagi yang akan 'dipaksa' untuk ditanamkan di motor kecil? Hehe kita pantau terus aja deh ya. 

Sekian ☺



Sabtu, 30 April 2016

Kejurnas Karate Solo Cup VII

Alright, now I will share my experience joining Solo Cup VII which is a national Karate competition.

   I’ve ever had Karate class when I was at the elementary school, I held green belt at that time. And 2 months ago I restarted my Karate routine by joining UKM INKAI UNS, but I decided to begin from the yellow belt since it’s been years I didn’t practice karate. The first week I joined UKM Karate at the campus, I practice some ‘katas’. And then the second week, Senpai asked the students who wanted to join Solo Cup VII. Hearing what he said, I raised my hand enthusiastically.

   Let me cut this short, and so the following weeks the Karate training was focused for the Solo Cup VII competition. I practiced 5 days a week along with Senpai and other fellow students (in UKM INKAI UNS, we call our trainer ‘Senpai’ which means brother, there’s only one man who deserved to be called ‘Sensei’, he is Mr… I don’t remember his name hehehe). I actually felt a bit discouraged because when the training came to the fight simulation session, I saw that my friends had far better skill and techniques than I did. But then, I threw that mind away. Senpai always encouraged us, “for those who had never joined competition, now is your chance to get more experience. Don’t mind about your techniques, spirit comes first and techniques later. That’s Bushido”, that was one of his speech that I still remember.

    So after 3 months of intensive training, the D-Day had finally come. My friends from UKM INKAI UNS and I went to Manahan Sport Center to enroll the competition. After all the bureaucracy was done, we went home to prepare for the competition the next day.

    The competition itself was held for 3 days, from 15-17 April. The competition was opened ceremonially on April 15th in the afternoon. And wow, I was amazed by the atmosphere. Everyone was very enthusiast. There were nearly 1,000 Karatekas from all ages, according to my disposal. And I was among them, standing inside the sport center joining the ceremonial opening. “Dung… Dung… Dung”, the sound from the Gong started the competition officially. The sound “Oss” from the 1,000 Karatekas almost made me shiver, it was like surrounded by a herd of roaring lions.

    And the Solo Cup VII competition began. Unfortunately I couldn’t watch my friends competing in Kata class on the first day of the competition.

Okay, cut this short again. I think I’ll write this as dramatic as possible

I got my turn to fight in Kumite match on Sunday, April 17th
I was very nervous when my name was called by the announcer. I walked to the Tatami as I tightened my karate belt. I remember my enemy’s name was Edwin Gustafo, sounds like from Latin American name, doesn’t it? And damn, he looked like the fussion of Sylvester Stallone and Dolph Lundgren, cold face and pretty sturdy body for someone joining the -55kg Kumite class.

    The judge called both of us into the middle and told us to bow to each other. Then he stepped back, my heart beat slower. My nipples hardened. I felt that a fight was about to happen (Of course it was about to happen, I was in the middle of a karate competition right? :v). Okay that one is not funny.

    Then the judge shouted “Hajime”, signal that the match was started. Alright, I stepped forward, I tried to corner my enemy. And.. got him, he was open.

*Landing my punch*
*Duagg…*

    Damn he was fast, his punch landed on my stomach. Soon I knew that he was more experienced. He stole the first point.  Alright no problem, that time was my first experience though. Continue…

   I tried to buy sometime and learn my enemy’s movement. Then I could dodge and avoid some of his punches. I stroke back.

*Bhamm*

    My kisame  landed on his face. “Yamai!!”, the judge shouthed .Okay 1-1, we got same point. Continue again…

    I provoked him to strike first, I pretended wanting to strike him. And I did it, my kick land hardly on his back. I got 2 points. I was leading, the score is 3-1. “Yamai”, back to our positions. Continue again…

    I stroke him, but he dodged my every punch. My defense got loosen a bit and then..

*Whamm*

    A kick landed on my right cheek. Damn that was a kick to the head, my opponent stole 3 point. He was getting serious. It was 3-4, my opponent leading.

    I tried to buy time. But eventually I failed on the last 10 seconds, I couldn’t avoid my opponent’s kick. He got 2 more points. The final score was 3-6. I lost the match.

    Never mind, for I had no experience in Karate competition before. At the end of the match we shook hands and have a little chat together. We forgot what just happened in the match, my opponent was really friendly.


    I’m glad and proud of myself to ever join such competition. I learn what sportivity is from Karate. Now I train myself to join the next Solo Cup competition in 2018.





Rabu, 13 April 2016

Children's Gadget Usage Control Needed

The phenomena of children being well-versed in using gadgets has been considered   these days. We all live in electronic – era and we all aware of that. It is no more surprising if you see a 5 years-old boy watching video from Youtube from his own tablet.

Now we are all faced with the fact that children can’t be separated from gadget. You may say that a lot of entertainment from gadget gives happiness and joy to children. But is that really true? If we look back to when we were little, we had far happier childhood times without the existence of electronic gadgets. Playing outside with our friends till sunset, catching fireflies, swimming in the river, etc. Those kinds of activities are rare to find in today’s children.

Some parents who don’t know how to take care of their children’s fussiness, will usually let them play with gadgets to calm their children down. Indeed gadgets will overcome the situation, but can also give both the parents and children bigger problem. For the parents, they will not learn how to handle their children when they are fussy and somehow their children will not get the affections needed from their parents. In other words, the role of parents will be replaced by the gadgets.

There is a research stating that excessive gadget usage in children will increase the obesity risk. Children who are allowed to play with their gadget in their bedroom are likely to get 30% higher risk of suffering obesity, because gadget will make them lazy to move and do activities. We all know that obesity leads to stroke and heart attack.

Furthermore, gadget addiction will make them difficult to socialize with their surroundings. Children who have been addicted to gadgets have the tendency to become introvert. They don’t care about anything but their gadgets.


It is why, regarding to these bad effects of the uncontrolled gadget usage in children, I hope parents can pay close attention to their children. Affection from the parent is the thing that children need in their growth. It is alright to teach the children how to use gadget, but don’t let gadgets replace the role as parents to them. 

Kamis, 14 Januari 2016

Koordinator Tingkat : Enak dan Eneknya

Koordinator Tingkat (n)

Sebuah gelar prestisius yang diberikan kepada mahasiswa UNS yang menjadi orang kepercayaan / pemimpin mahasiswa satu angkatan di program studinya.

Well, kalo di SMA kita menyebutnya dengan ketua kelas. Syaratnya jadi korti cukup gampang, kalian aktif - aktiflah chatting di grup Line maupun Whatsapp fakultas / prodi jauh hari sebelum masa ospek tiba. Setidaknya itu yang aku lakukan dulu, karena terlalu lama nganggur di rumah setelah pengumuman UN & SNMPTN, jadi kerjaanku ya banyak chatting. Niatnya sih mau cari temen-temen yang satu prodi biar kita udah akrab jauh sebelum masuk kuliah dan cari kenalan baru sebanyak-banyaknya (maklum mau jadi mahasiswa, temen harus dibanyakin :v).

Nah kali ini aku mau sharing sedikit gimana sih rasanya jadi korti itu, according to my point of view.

ENAKNYA :

  1. ADA KEBANGGAAN TERSENDIRI. At least that was what I felt when 44 out of 56 students appointed me to be their coordinator. For me whom always being underestimated and have never been trusted to hold such position even from, it was something amazing. I suddenly remembered what my headmaster said at the graduation ceremony, that your life will change a lot once you enter the college. It's like "Wow, damn, so what he said is true. From now on, you should call me Pak Korti."
  2. JADI ORANG PERTAMA YANG DIKENAL ANGKATAN SENIOR. You will hear many seniors say hi and behave nicely to you (although it turned out that all the seniors in my major are nice). But it will make you feel that you are very respected, at least for few days.
  3. JADI ORANG PERTAMA YANG DIKENAL DAN PUNYA KONTAK PARA DOSEN. Once the normal day begin after the Students' Orientation Time is over, usually the lecturers will ask the same question in the first meeting of the class, 'Who is the coordinator?'. And then the lecturers will remember your name for eternal, because you know that lecturers don't always remember the names of their students. You will also be the first to keep in touch with the lecturers. Again it's about self pride, for being the first.
  4. AKSES UNTUK DAPET MATERI PELAJARAN DARI KAKAK SENIOR LEBIH GAMPANG. Being a coordinator means that you will automatically become more 'intimate' with the seniors. Although you don't socialize often with them or even just to have chit-chat, you will always have that 'intimate' with the seniors. I don't know is it only in English Literature major which happens that the seniors are very nice to juniors or it also happens in the other majors. And, intimate means that you can borrow or ask for the learning materials such as books and journals easier from them. For 'perantau' like me, it is very helpful. If you can borrow, why buy? Isn't it right? Hehehehe.
  5. (MUNGKIN) NILAI-NILAIMU AKAN SEDIKIT TERDONGKRAK. Well it is quite impossible actually, because lecturers are demanded to always be objective to their students, it is professionalism. But lecturers are also humans, aren't they? Hehehehe kidding ^_^V 

ENEKNYA :

  1. KADANG SUKA DIMANFAATIN TEMEN. For example when my friend wants to know information about the academic calendar, then he will ask me to find the information. Well okay, I'm always ready to help. But as the time goes, some of my friends start asking my help for unimportant things. For example, one day our class had a mid-test. One of my friend and I happened to finish the test before the given-time was over. Then she asked me to ask the lecturer whether we could leave early or not. That was a bit annoying, because when I asked her back "why don't you ask it yourself?". She answered, "because you are the coordinator, aren't you?".
  2. PUSING CARI GANTI RUANG KULIAH & JAM KULIAH KALO DOSEN NGGAK BISA HADIR. Usually, this happens in the last month of the semester. Because sometimes the lectutrers have some 'personal-business' that make them can't attend the class. Then they will ask you to find the replacement time for the empty class . College is very different from highschool you know. SO DON'T EVER FEEL HAPPY WHEN YOUR LECTURER CAN'T ATTEND THE CLASS.